Connect with us

Headline

DPR Tak Ingin Presiden Diimpeachment karena Dinilai Melanggar UU Terkait Ex-officio

redaksi.kabarbatamnews

Published

on

F44089368

JAKARTA, KABARBATAM.com– Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI dengan Ombudsman RI yang diselenggarakan, Senin, 13 Mei 2019 di Gedung DPR RI, Senayan, kemarin menjadi puncak “kemarahan” anggota DPR atas kebijakan pemerintah terkait ex-officio Kepala BP Batam oleh Walikota Batam.
Adalah Firman Subagyo, anggota Komisi II DPR RI menyatakan menolak keras kebijakan pemerintah tersebut. Selain melanggar Undang-Undang (UU) seperti yang disampaikan Ombudsman RI, kebijakan ex-officio juga berpotensi menimbulkan kegaduhan di daerah.
“Kalau (ex-officio) ini dipaksakan, dasar hukumnya lemah. Justru kebijakan yang dibuat pemerintah (mengubah PP No 46/2007 untuk kedua kalinya) bisa menyesatkan. Sehingga kami minta agar ini dihentikan,” tegas Firman, saat mendapatkan kesempatan berbicara di forum RDP.
Ia menegaskan, saat ini banyak kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan kondisi di daerah, tidak sejalan dengan kepentingan dunia usaha, dan masyarakat banyak. Kalau kebijakan ini tetap dijalankan, menurut Firman, akan menimbulkan riak dan gejolak di daerah. Justru ia khawatir hal tersebut menimbulkan konflik horisontal.
“Karena kita negara hukum, kita sudah punya lembaga hukum, lembaga negara yang telah melakukan kajian, maka Fraksi Golkar DPR RI memutuskan agar kesimpulan dari kajian yang dilakukan oleh Ombudsman RI sebagai lembaga yang punya kompetensi dan kewenangan menyatakan bahwa (kebijakan ex-officio) ini maladministrasi atau tidak, adalah sebuah keputusan yang harus kami hargai,” ungkap Firman.
Olehnya itu, menurut anggota Fraksi Partai Golkar ini, Ombudsman RI harus menulis surat kepada Presiden RI untuk membatalkan ex-officio Kepala BP Batam oleh Walikota sesuai dengan kajian yang telah dilakukan.
“Saya percaya pada Pak Tjahjo Kumolo dan juga menteri terkait. Sebagai menteri harusnya membantu Presiden, bukan menjerumuskan Presiden. Bukan karena takut, lalu tidak memberikan masukan yang komprehensif kepada Presiden,” ujarnya.
“Mohon maaf, saya tidak sebutkan pejabatnya. Selalu alasannya bahwa ini perintah Presiden. Saya katakan, kalau bapak lakukan ini, maka bapak akan melanggar UU. Kalau UU dilanggar, tentu konsekuensinya pada lembaga negara. Presiden bisa di-impeachment suatu saat karena melanggar UU,” tegas Firman.
Firman mengaku, tidak ingin jika Presiden RI di-impeachment (pemakzulan) lantaran melanggar konstitusi, melanggar Undang-Undang (UU) hanya karena pejabat atau menterinya salah memberikan masukan.
“Ini persoalan serius, sehingga kami mendesak Ombudsman RI segera menulis surat kepada Presiden. DPR RI, sebagai lembaga negara juga harus menulis surat kepada Presiden untuk membatalkan ex-officio Kepala BP Batam oleh Walikota Batam,” kata Firman.
Kesimpulan yang bisa didapatkan dari RDP yang digelar mulai pagi hingga menjelang sore, sambung Firman, bahwa baik dari aspek sosial, ekonomi, dan hukum, jika kebijakan ini diberlakukan maka potensi abuse of power dari seorang Walikota akan sangat besar terjadi. “Baik itu untuk kepentingan bisnis, ekonomi, dan politik oleh Walikota Batam yang notabene seorang pejabat politik,” pungkas Firman.
Diberitakan sebelumnya, dalam RDP di Ruang Rapat Komisi II DPR RI, Ombusdman menyampaikan kajiannya tentang kebijakan pemerintah soal ex-officio kepala BP Batam oleh Walikota Batam. “Soal terminologi ex-officio sama dengan rangkap jabatan. Namun sangat disayangkan, kebijakan pemerintah ini tidak diikuti oleh kajian komprehensif tentang ex-officio Kepala BP Batam,” ungkap Komisioner Ombudsman RI Laode Ida.
Menurut Laode, sangat jelas larangan bahwa bagi pejabat pelayan publik atau kepala daerah tidak boleh rangkap jabatan. Penegasan tersebut tertuang dalam UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Selain itu, kebijakan tersebut juga bertentangan dengan UU No 30 tahun 2014.
“Jelas melanggar, di antaranya UU No 30 tahun 2014 pasal 17 ayat 1 dan 2, terkait dengan penyalahgunaan wewenang adalah mencampur-adukkan wewenang,” tegasnya. Laode kembali menegaskan bahwa tidak ada dualisme di Batam.
“Isu dualisme hanya kepentingan elite politik. Karena OB/BP Batam dan Pemko Batam memiliki fungsi dan wewenang masing-masing,” ungkap Laode. “Karena itu, jika hal itu tetap diterapkan maka potensi terjadinya maladministrasi oleh pemerintah juga besar,” ujarnya.
Sementara, Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkum HAM Yunan Hilmy mengatakan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perubahan Kedua PP No 46/2007 masih dalam tahap pembahasan.
“Masih dalam tahap pembahasan dan penyusunan. Salah satu pembahasan, sesuai peraturan perundang-undangan, rangkap jabatan tidak bertentangan dengan UU karena jabatan Kepala BP Batam adalah bukan pejabat negara,” ujar Yunan.
Namun pernyataan Yunan langsung diluruskan oleh Ketua Rapat yang juga Wakil Ketua Komisi II DPR RI. Herman menilai, rangkap jabatan itu bukan antar pejabat negara dengan pejabat negara lainnya. “Justru yang tidak boleh itu, pejabat negara dengan jabatan lainnya. Itu yang tidak boleh,” tegasnya.
RDP bersama Komisi II DPR RI ini, masing-masing dihadiri Ketua Ombudsman RI Prof Amzulian SH, Komisioner Ombudsman RI Laode Ida, Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkum HAM Yunan Hilmy, Kepala BP Batam Edy Putra Irawady, Ketua Kadin Kepri Akhmad Maruf Maulana, Ketua Kadin Batam Jadi Rajagukguk, Dewan Pakar Kadin Ampuan Situmeang, Ketua FORPPI Marthen, dan Purwanto beserta tim dari Lembaga Kajian Universitas Gadjah Mada (UGM). (war)

Advertisement

Trending